Cokelat dan Jaringan Produksi Global: Perkembangan dan Tantangan Industri Cokelat Indonesia

Avionita Putri Ramadhanty
8 min readDec 12, 2020

--

Dewasa ini produksi cokelat dunia cenderung terkonsentrasi secara geografis, sebagai contoh menurut ICCO di tahun 2016, produksi global cokelat di tahun 2014–2015 hanya berasal dari 7 negara tropis diantaranya: Pantai gading (42.4% dari produksi cokelat global), Ghana (17.5%), Indonesia (7.7%), Ekuador (5.9%), Kamerun (5.5%), and Brasil (5.4%).[1] Melihat hal tersebut, industri cokelat Indonesia merupakan industri produksi yang berpotensial bagi perekonomian nasional. Dengan mengkonsiderasi peranannya sebagai salah satu komoditas yang signifikan bagi ekonomi, mendorong penyerapan lapangan kerja, penghasil pendapatan dan devisa, serta pengembangan wilayah dan argoindustri[2], dapat dikatakan bahwa apabila dikembangkan secara baik industri ini dapat menjadi sektor yang menguntungkan bagi Indonesia. Maka dari itu, tulisan ini akan mengkaji potensi serta tantangan yang dihadapi industri cokelat Indonesia dalam Global Production Network (GPN). Pembahasan diawali dengan pemaparan mengenai GPN dan situasi GPN cokelat dunia lalu dilanjutkan dengan perkembangan industri cokelat di Indonesia, tantangan dan potensinya.

Global Production Network

Penting untuk memahami apa itu Global Production Network (GPN) untuk secara lebih lanjut mengkaji mengenai signifikansi industri cokelat Indonesia beserta potensi dan tantangannya. GPN sendiri dapat didefinisikan sebagai pengaturan organisasional yang mencakup perekonomian yang terhubung dan aktor non-ekonomi yang dikoordinasi oleh lead firm global, selain itu di dalamnya juga termasuk produksi barang atau jasa yang dilakukan di beberapa lokasi geografis ditujukan bagi pasar global. Dalam Hilirisasi: Resource-based industrialisation and Global Production Networks in the Indonesian coffee and cocoa sectors, Dwiartama, dkk. menjelaskan bahwa menurut Yeung and Coe, analisis GPN berfungsi untuk mengobservasi dinamika dan perilaku jaringan global dan regional yang ditentukan oleh strategi serta aktivitas pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh lead firm.

Produksi cokelat adalah industri penganan global yang diestimasikan dapat menghasilkan pemasukan sebesar $129 miliar dolar AS di tahun 2017, menjadikannya sebagai produk dominan dalam pasar penganan.[3] Dalam GPN cokelat, lead firms global adalah produsen yang secara geografis terkonsentrasi di Eropa dan Amerika Utara seperti Mondelez, Nestlé, Hersheys dan Mars. Akan tetapi mereka memiliki pasar yang terus berkembang di Asia, Amerika Latin, serta Timur Tengah. Contohnya, dengan mengikuti tren produksi cokelat yang semakin berpindah mendekati pasar konsumen yang semakin berkembang seperti Asia, Nestlé, Mars, and Mondelez telah memiliki pabrik di Tiongkok sejak 1990-an, dan Hershey juga menyusul di tahun 2007. Selain itu, Malaysia menjadi lokasi kunci bagi investasi di daerah Asia Tenggara. Perusahaan lain yang dapat diidentifikasi adalah perusahaan makroregional seperti Delfi merupakan producen yang menempati posisi kuat dalam pasar Indonesia, memegang 47% dari pasar Indonesia menurut Euromonitor Internasional 2015.[4]

Jaringan produksi cokelat mencakup proses industri menengah yang penting seperti penggilingan biji cokelat. Perusahaan yang berperan sebagai trader-grinders dalam aktivitas ini dapat memiliki pengaruh yang setara dengan produsen bermerek. Perusahaan penggiling biji cokelat dipimpin oleh perusahaan asal Amerika Serikat Cargill, perusahaan asal Swiss Cargill, Barry Callebaut, dan Ecom Agroindustrial, serta perusahaan asal Singapura Olam yang diperkirakan mengontrol 2/3 proses penggilingan global di tahun 2015.[5]

Industri Cokelat di Indonesia

Indonesia merupakan produsen biji cokelat terbesar ketiga di dunia dan merupakan titik penting bagi proses penggilingan cokelat. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa Indonesia memiliki permintaan produk cokelat yang semakin berkembang. Meski begitu, enam perusahaan merk global dalam sektor cokelat seperti Mars Inc; Mondelēz International; Ferrero Group; Nestlé SA; Hershey Foods Corp; and Lindt & Sprüngli AG cenderung melemahkan proses produksinya di Indonesia, di sisi lain perusahaan nasional dan regional menguasai enam dari sepuluh merek cokelat yang paling banyak dijual.[6] Menurut Euromonitor Internasional, Dalam pasar penganan cokelat Indonesia, lead firms global bersaing untuk mendapatkan pangsa pasar dengan perusahaan merek lokal dan makro-regional seperti Delfi. Selama periode 2010–2014, pasar konsumen cokelat didominasi oleh merek-merek seperti Silver Queen (dimiliki oleh Delfi, 24,9%), Beng-beng (Mayora, 9,4%), Kinder Joy (Ferrero, 8%), Delfi (Delfi) , 6,4%), Cadbury (Mondelez, 6,4%), dan Gery Chocolatos (Garudafoods, 6,3%).

Sejak 2002, sektor industri cokelat yang mencakup perkebunan cokelat telah menyerap lapangan kerja dan menjadi sumber pendapatan dari 900.000 kepala keluarga petani terutama di Kawasan Timur Indonesia. Selain itu, sektor ini juga memberikan kontribusi devisa terbesar ketiga sebagai sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan mencapai nilai kontribusi devisa sebesar $701.000.000 dolar Amerika Serikat. Dalam perjalanannya, perkembangan perkebunan cokelat di Indonesia terjadi secara cepat dalam 20 tahun terakhir, tercatat bahwa perkebunan cokelat Indonesia mencakup 914.051 ha di tahun 2002. Pengelolaannya sebagian besar dilakukan oleh rakyat, hanya 6% darinya dikelola oleh negara, dan 6.7% dikelola oleh perkebunan besar swasta. Produksi tanaman yang dikembangkan diantaranya berjenis kakao curah dengan pusat produksi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Sedangkan jenis kakao mulia ditanam oleh perkebunan negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.[7]

Tantangan Industri Cokelat Indonesia

Industri cokelat Indonesia memiliki beberapa tantangan signifikan seperti kualitas biji kakao yang cukup rendah, penurunan produktivitas, dan kebijakan institusional seperti hilirisasi yang memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi integrasi Indonesia ke dalam GPN cokelat dunia. Hama penggerek buah kakao dan umur tanaman yang tua mempengaruhi kualitas kakao Indonesia, hasilnya biji kakao Indonesia memiliki tingkat keasaman yang cukup tinggi dipengaruhi oleh rendahnya kadar lemak serta senyawa perkusor flavor. Dampak dari rendahnya kualitas biji kako Indonesia tentunya dapat dilihat dari penurunan harga yang signifikan, sekitar 15% dibandingkan harga secara umum biji kakao global.[8] Tidak hanya itu, tercatat pula bahwa produksi biji kakao Indonesia terus mengalami penurunan semenjak tahun 2000. Hal ini disebabkan oleh hama dan penyakit serta kecenderungan petani di Sulawesi untuk mengganti tanaman kakao dengan tanaman yang lebih produktif seperti sawit, jagung, dan merica maupun adanya perubahan prioritasi strategi penghidupan selain agrikultur. Hal ini tentunya akan membahayakan stabilitas supply biji kakao bagi industri cokelat Indonesia.[9]

Selain dari aspek produksi, terdapat pula tantangan institusional yang mengancam kemampuan integrasi Indonesia dalam GPN cokelat global. Melalui program hilirisasi yang disebut oleh Kementerian Perindustrian sebagai upaya untuk memperkuat struktur industri pertanian, pertambangan dan sektor kimia berbasis minyak, pemerintah bertujuan untuk mengembangkan basis industri perekonomian, meningkatkan distribusi spasial industri di seluruh Indonesia, dan menambah nilai ekspor dan produk dalam neger. Istilah hilirisasi dipopulerkan selama era pasca-reformasi (setelah jatuhnya rezim Orde Baru Presiden Suharto pada tahun 1998), perwujudannya dilakukan melalui koridor MP3EI6 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.[10] Yang kemudian terjadi adalah, tanpa secara aktif mencari peluang nilai tambah melalui partisipasi dalam jaringan produksi yang kompetitif secara internasional yang mungkin memerlukan proses impor, Indonesia justru menerapkan strategi untuk menambah nilai bahan baku dalam negeri.

Dalam hal ini, kebijakan hilirisasi memiliki hubungan dua arah dengan strategi lead firm. Pertama, kebijakan ini akan menciptakan situasi di mana strategi perusahaan utama dikonfigurasi ulang. Kedua, dampak kebijakan hilirisasi bisa juga menguntungkan maupun menghambat strategi lead firm yang berhubungan pasar, minimalisasi biaya atau pengelolaan risiko.[11] Hal ini terlihat dalam beberapa kasus, kasus pertama adalah upaya pada tahun 2009 untuk mendukung upaya pemberian nilai tambah di hilir kakao di Sulawesi Selatan melalui investasi publik di pabrik manufaktur cokelat milik negara di Kawasan Industri Gowa sebagai bagian dari ‘klaster industri kakao’. Namun, 10 tahun setelah pabrik dibangun, dengan perkiraan biaya sebesar Rp 20 miliar kepada pemerintah provinsi, fasilitas tersebut belum beroperasi dan kemungkinan besar tidak akan beroperasi di masa mendatang. Contoh kebijakan kedua melibatkan upaya untuk mendorong nilai tambah di tingkat petani dilakukan melalui distribusi mesin pengolahan kakao dasar dan mesin pembuat cokelat, yang sayangnya belum mencapai penetrasi pasar yang signifikan. Meski beberapa usaha kecil perkotaan telah memasuki pasar konsumen untuk cokelat, seperti Chocodot (Garut, Jawa Barat), Cokelat Monggo (Yogyakarta), Primo Chocolate (Bali), dan Kampung Cokelat (Blitar, Jawa Timur), namun volume konsumsinya masih belum signifikan. Secara umum kegagalan inisiatif tersebut disebabkan oleh kapasitas teknologi yang rendah, skala ekonomi yang tidak memadai, kurangnya pengetahuan pasar, dan infrastruktur yang buruk. Yang terpenting, inisiatif ini tidak mendapatkan keuntungan dari pengetahuan teknis dan pemasaran perusahaan utama, dan kemampuan mereka untuk mengoordinasikan pasokan bahan dari berbagai rantai pasokan. Hal ini bertolak belakang dengan strategi Delfi, yang mampu beralih ke produksi dan distribusi cokelat setelah sebelumnya berpartisipasi sebagai pemasok produk kakao setengah jadi ke produsen cokelat bermerek global.[12]

Potensi Peningkatan Integrasi Industri Cokelat Indonesia ke Dalam GPN

Strategic coupling adalah proses di mana lead firms di kawasan mengoordinasikan dan memfasilitasi kepentingan strategis antara lembaga regional dan mitra mereka dalam perekonomian global. Dalam hal ini, instansi daerah berperan untuk memastikan bahwa kerjasama strategis tersebut terjadi melalui proses mempengaruhi aset daerah agar sesuai dengan kebutuhan lead firms di GPN.[13] Coe dkk. berpendapat bahwa proses ini bertumpu pada penciptaan, penangkapan, dan peningkatan nilai. Penciptaan nilai melibatkan pembentukan kondisi yang mendukung pembangunan oleh lembaga-lembaga daerah, contohnya seperti melalui pelatihan, program pendidikan dan promosi perusahaan rintisan. Sedangkan peningkatan nilai mengacu pada peningkatan keterampilan industri, transfer teknologi, penyediaan infrastruktur yang lebih baik, dan peningkatan keterampilan khusus. Terakhir, penangkapan nilai meliputi bagaimana perusahaan utama yang terdapat di wilayah tertentu dikembangkan.[14] Melalui strategi ini, maka pemerintah tidak sepenuhnya membatasi interaksi dengan lead firms, tetapi justru mendapatkan pengayaan upaya pengembangan industri yang ada.

Pengalaman Indonesia dalam memproduksi biji kakao dalam jumlah cukup tinggi hingga menempatkannya sebagai produsen biji cokelat terbesar ketiga dunia terancam oleh penurunan produktivitas yang disebabkan oleh faktor alam, manusia, maupun institusional. Melalui strategic coupling, pendekatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan terbatas pada rendahnya kapasitas lokal. Lead firms akan berkontribusi dalam pengayaan upaya pengembangan industri cokelat Indonesia dan mendorong pengamanan produksi bahan baku.

Daftar Pustaka

Angga Dwiartama, dan Jeffrey Neilson. “Hilirisasi: Resource-based industrialisation and Global Production Networks in the Indonesian coffee and cocoa sectors.” Dalam Hilirisasi: Resource-based industrialisation and Global Production Networks in the Indonesian coffee and cocoa sectors. Ministry of Trade Jakarta, 2018.

Departemen Perindustrian. “Gambaran Sekilas Industri Kakao,” 2007.

Euromonitor International. 2015b. “Chocolate Confectionary in Indonesia Report 2015”. Purchased from: https://www.euromonitor.com/chocolate-confectionery-inindonesia/report

Gayi, S. K., & Tsowou, K. (2016). Cocoa industry: Integrating small farmers into the global value chain. Geneva: UNCTAD. Available at: https://unctad.org/en/ PublicationsLibrary/suc2015d4_en.pdf (accessed 3 June 2020).

Neilson, Jeff, Bill Pritchard, Niels Fold, dan Angga Dwiartama. “Lead Firms in the Cocoa–Chocolate Global Production Network: An Assessment of the Deductive Capabilities of GPN 2.0.” Economic Geography 94, no. 4 (8 Agustus 2018): 400–424. https://doi.org/10.1080/00130095.2018.1426989.

Nilsen, Trond. “Global Production Networks and Strategic Coupling in Value Chains Entering Peripheral Regions.” The Extractive Industries and Society 6, no. 3 (Juli 2019): 815–22. https://doi.org/10.1016/j.exis.2019.04.004.

[1] Neilson, Jeff, Bill Pritchard, Niels Fold, dan Angga Dwiartama. “Lead Firms in the Cocoa–Chocolate Global Production Network: An Assessment of the Deductive Capabilities of GPN 2.0.” Economic Geography 94, no. 4 (8 Agustus 2018): 400–424. https://doi.org/10.1080/00130095.2018.1426989. .

[2] Departemen Perindustrian. “Gambaran Sekilas Industri Kakao,” 2007.

[3] Neilson, Jeff, Bill Pritchard, Niels Fold, dan Angga Dwiartama. “Lead Firms in the Cocoa–Chocolate Global Production Network: An Assessment of the Deductive Capabilities of GPN 2.0.” Economic Geography 94, no. 4 (8 Agustus 2018): 400–424. https://doi.org/10.1080/00130095.2018.1426989.

[4] Euromonitor International. 2015b. “Chocolate Confectionary in Indonesia Report 2015”. Purchased from: https://www.euromonitor.com/chocolate-confectionery-inindonesia/report

[5] Gayi, S. K., & Tsowou, K. (2016). Cocoa industry: Integrating small farmers into the global value chain. Geneva: UNCTAD. Available at: https://unctad.org/en/ PublicationsLibrary/suc2015d4_en.pdf (accessed 3 June 2020).

[6] Neilson, Jeff, Bill Pritchard, Niels Fold, dan Angga Dwiartama. “Lead Firms in the Cocoa–Chocolate Global Production Network: An Assessment of the Deductive Capabilities of GPN 2.0.” Economic Geography 94, no. 4 (8 Agustus 2018): 400–424. https://doi.org/10.1080/00130095.2018.1426989.

[7] Departemen Perindustrian. “Gambaran Sekilas Industri Kakao,” 2007.

[8] Departemen Perindustrian. “Gambaran Sekilas Industri Kakao,” 2007.

[9] Angga Dwiartama, dan Jeffrey Neilson. “Hilirisasi: Resource-based industrialisation and Global Production Networks in the Indonesian coffee and cocoa sectors.” Dalam Hilirisasi: Resource-based industrialisation and Global Production Networks in the Indonesian coffee and cocoa sectors. Ministry of Trade Jakarta, 2018.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Angga Dwiartama, dan Jeffrey Neilson. “Hilirisasi: Resource-based industrialisation and Global Production Networks in the Indonesian coffee and cocoa sectors.” Dalam Hilirisasi: Resource-based industrialisation and Global Production Networks in the Indonesian coffee and cocoa sectors. Ministry of Trade Jakarta, 2018.

[13] Nilsen, Trond. “Global Production Networks and Strategic Coupling in Value Chains Entering Peripheral Regions.” The Extractive Industries and Society 6, no. 3 (Juli 2019): 815–22. https://doi.org/10.1016/j.exis.2019.04.004.

[14] Nilsen, Trond. “Global Production Networks and Strategic Coupling in Value Chains Entering Peripheral Regions.” The Extractive Industries and Society 6, no. 3 (Juli 2019): 815–22. https://doi.org/10.1016/j.exis.2019.04.004.

--

--